MAKALAH “AKAD MUDHARABAH” Mata Kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi Islam

MAKALAH
“AKAD MUDHARABAH DI BMT SYIRKAH MUAWANAH NU KRAMAT”
Disusun Guna Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Aspek Hukum dalam Ekonomi Islam
Dosen Pembimbing : Abdul Waid, S.H.I., M.S.I

https://umayatul94.files.wordpress.com/2014/06/logo_iainu.jpg
Disusun Oleh :
1.        Ahmad Fauzi                    14.21003
2.        Abdul Wahid Yusuf         14.21001
3.        Ahmad Latifudin              14.21002
4.        Ali Yasir                           14.21004
5.        Chamam Nasirudin           14.21005                          
Kelas/Semester : Ekonomi Syari’ah/ IV
Fakultas Syari’ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
(IAINU) KEBUMEN TAHUN 2016
Jl.Tentara Pelajar No. 55 B Kebumen 54312
►► Telp/Fax : (0287) 385902
►► website : www.iainukebumen.ac.id

KATA  PENGANTAR


  Assalamu’alaikum Wr.Wb.              
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemampuan kepada hambanya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya.
 Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Abdul Waid, S.H.I., M.S.I selaku dosen mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi Islam yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada kami, sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan, atas saran dan kritiknya kami ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.                                            


 



                                                                        Kebumen, 15 Mei 2016



                                                                                                     Penulis




DAFTAR ISI

                                                                           
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii........
BAB I  : PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A.       Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
BAB II  : PEMBAHASAN .......................................................................... 3.........
A.        Pengertian Mudharabah.................................................................. 3
B.       Landasan Syariah ............................................................................ 4
C.       Syarat dan Rukun Mudharabah....................................................... 5
D.       Berakhirnya akad Mudharabah........................................................ 7
E.        Hikmah Mudharabah........................................................................ 8
F.        Draft Kontrak Pembiayaan Mudharabah......................................... 8
BAB III : PENUTUP .................................................................................. 14
Kesimpulan .................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 15

                                                                                                              


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia bisnis (usaha) adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Untuk itulah, di dalam menjalankan bisnis betapa pentingnya kontrak yang harus dibuat sebelum bisnis itu sendiri berjalan dikemudian hari. Eksistensi perjanjian atau kontrak bernilai urgen bagi kehidupan manusia karena dapat memfasilitasi pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi sendiri tanpa bantuan orang lain. Aturan main dalam pemenuhan kebutuhan dengan melibatkan orang lain haruslah jelas dan dewasa ini perlu dituangkan dalam suatu kontrak yang dapat melindungi kepentingan masing-masing pihak. Sehingga dapatlah dipahami apabila kontrak dikatakan sebagai sarana sosial dalam peradaban manusia untuk mendukung kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian atau persetujuan diartikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata tidak lengkap, dan terlalu luas. Hal itu disebabkan karena yang dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

Adanya asas kebebasan berkontrak yang memperbolehkan kedua pihak bebas menentukan apa yang boleh dan tidak boleh di dalam menentukan isi perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Artinya kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.

Melihat kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian syariah, maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya Baitul Maal Wat Tanwil (BMT) menjadi penting diupayakan implementasinya. Dalam penerapan pola hubungan akad inilah sudah seharusnya tidak terdapat penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak karena masing-masing menyadari akan pertanggungjawaban dari akad tersebut. Tetapi dalam koridor masyarakat yang kurang sadar hukum, tidak dapat dihindari munculnya perilaku saling mengeksploitasi satu sama lain. Sehingga kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis akan sangat tinggi dan beragam.

Kontrak atau perjanjian merupakan intrumen penting dalam kehidupan manusia untuk mengawal segala kegiatan bisnisnya tak terkecuali dalam pembiayaan mudharabah. Seiring dengan perkembangan bisnis semakin meningkat sehingga menuntut pihak lembaga keuangan syariah menggunaan model kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku bisnis melalui kontrak baku (standard contract).









BAB II
PEMBAHASAN
A.           Perjanjian/ kontrak Mudharabah
BMT merupakan salah satu lembaga keuangan syari’ah non bank di bawah naungan Koperasi yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan produktifitas masyarakat, secara umum dengan menawarkan berbagai macam produk pembiayaan dengan prinsip bagi hasil baik secara mudharabah maupun musyarakah kepada masyarakat. Namun dalam makalah ini, pemakalah hanya memfokuskan pada pembiayaan mudharabah sebagai bentuk perjanjian kerjasama Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) Syirkah Muawanah NU Kramat dengan Nasabahnya.
Umumnya model perjanjian pembiayaan yang dipakai oleh pihak Baitul Maal Wa Tanwil (BMT) dewasa ini adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya. Artinya, perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainya untuk melakukan negosiasi syarat-syarat yang disodorkan.
Adapun salah satu produk yang paling terkenal di masyarakat ialah pembiayaan mudharabah, beberapa pengertian mengartikan bahwa mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama adalah  pemilik modal (shahibul maal), sedangkan  pihak lainnya menjadi  pengelola modal (mudharib), dengan syarat bahwa hasil keuntungan yang diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama (nisbah yang telah disepakati), namun bila terjadi kerugian akan ditanggung shahibul maal.
Secara terminologi, merujuk Fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahibul al maal, bank) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam literatur lain, Mudharabah adalah Akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan/ diusahakan. Laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.

B.            Landasan Syari’ah

1.      Dasar Hukum Mudharabah dalam Al-Qur’an

QS. al-Nisa’ ayat 29:
 “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.

QS. al-Ma’idah ayat 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”

QS. al-Baqarah ayat 283:
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.

2.      Dasar Hukum Mudharabah Dalam Hadis Nabi

Hadis Nabi riwayat Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).

Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
 “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

3.      Dasar Hukum Mudharabah Dalam Kaidah fiqh:
 “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

C.           Syarat dan Rukun Mudharabah
Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
1.      Modal.
2.      Jenis usaha.
3.      Keuntungan.
4.      Shighot (pelafalan transaksi)
5.      Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. 
Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1.      Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3.      Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.    Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
b.      Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4.      Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.      Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

D.           Berakhirnya Akad Mudharabah

Para ulama menyatakan bahwa akad Mudharabah akan berakhir apabila :
1.   Masing-masing pihak menyatakan akad batal, atau mudharib dilarang untuk bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau shahibul maal menarik modalnya.
2.  Salah seorang yang berakad meninggal dunia. Jika shahibul maal yang wafat maka menurut Jumhur Ulama akad mudharabah itu batal, karena akad mudharabah sama dengan akad wakalah yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan. Selain itu, Jumhur Ulama berpendapat bahwa akad mudharabah tidak bisa diwariskan. Akan tetapi, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika salah seorang yang berakad meninggal dunia, akadnya tidak batal, tetap dilanjutkan oleh ahli warisnya, karena menurut mereka akad mudharabah boleh diwariskan.
3. Salah seorang yang berakad kehilangan kecakapan bertindak hukum, misalnya gila.
4.      Modal habis di tangan shahibul maal sebelum dikelola oleh mudharib.
5.   Menurut Imam Abu Hanifah, jika shahibul maal murtad, maka akad mudharabahnya batal. 

E.            Hikmah Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

F.            Draft Perjanjian/ Kontrak
Terlampir
















Untuk mengetahui apakah hukum perdata kita mengakomodasi perikatan yang dibuat dalam bentuk perjanjian Islam, maka harus dilakukan tinjauan secara umum terhadap hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia. Perikatan dalam hukum perdata lahir dari Perjanjian dan Undang-undang. Hukum perjanjian diatur dalam buku ke-III KUHPerdata dengan titel perikatan. Dalam pasal 1313 KUHPerdata perjanjian diartikan ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain, satu orang atau lebih”. Kata mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang lain berarti untuk menciptakan perikatan. Dengan adanya perjanjian maka para pihak telah melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subyek hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum. Pada asasnya akibat hukum ini ditentukan juga oleh hukum. Kemudian dalam pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai sahnya suatu perjanjian, yaitu setiap perjanjian agar secara sah mengikat bagi para pihak yang membuatnya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:

1. Kesepakatan para pihak
Perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Dengan demikian berdasarkan pasal 1321 KUHPerdata, ditentukan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.

2.Kecakapan bertindak dari para pihak
Para pihak yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Didalam KUHPerdata yang disebut sebagai pihak-pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampuan.

3. Tentang hal tertentu
Bahwa perjanjian yang dibuat harus mengenai suatu hal tertentu yang telah disetujui. Menurut Subekti, suatu hal tertentu tersebut adalah untuk mempermudah pengadilan dalam memutuskan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.

4. Serta mempunyai kausa yang halal.
Dengan suatu sebab yang halal, perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan hukum, kebiasaan, ketertiban, dan kesusialaan.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ke tiga dan keempat merupakan syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakati. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Secara umum, tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai formalitas suatu perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, atau dengan suatu akta otentik. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau untuk menguatkan haknya sendiri maupun menyangkal suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Namun demikian, KUHPerdata mengecualikan ketentuan umum ini. Beberapa perjanjian khusus harus dibuat secara tertulis dengan suatu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, seperti misalnya; Perjanjian Kredit Bank, akta pendirian suatu Perseroan Terbatas dan sebagainya. Adapula beberapa perjanjian yang baru dapat mengikat hanya dengan penyerahan dari obyek yang diperjanjikan. Namun dalam praktek pada umumnya para pihak dari suatu perjanjian menginginkan suatu perjanjian dibuat setidak-tidaknya dalam bentuk tertulis dan dilegalesir oleh Notaris atau dalam bentuk akta notaril, dalam rangka memperkuat kedudukan mereka jika terjadi sengketa.
Adanya ketentuan umum tentang perikatan yang lahir dari perjanjian memang sangat diperlukan sehubungan dengan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak berarti, bahwa orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang tidak dikenal dalam perjanjian bernama dan yang isinya menyimpang dari perjanjian bernama yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan prinsip ”kebebasan berkontrak”, yang tersimpul dalam pasal 1338 KUHPerdata, tiap-tiap perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak. Mereka tidak dapat membatalkan atau mengakirinya tanpa persetujuan kedua belah pihak atau alasan yang dibenarkan Undang-Undang. Para pihak tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas diperjanjikan, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau Undang-Undang. Disamping hal tersebut diatas semua persetujuan harus dilaksanakan berdasarkan itikad baik oleh para pihak. Ketentuan mengenai itikad baik harus diperhatikan untuk melindungi kepentingan debitur dari kesewenang-wenangan kreditur dalam menyalahgunakan penafsiran bunyi perjanjian. Melalui itikad baik, hakim diberi wewenang untuk melakukan intervensi (turut campur) dalam pelaksanaan perjanjian. Jadi pada intinya suatu perjanjian apapun bentuk dan jenisnya asal mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, tetap berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.


Pasal 55 UU NO 21 tahun 2008
1.      Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkuan PA.
2.      Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

Asas kebebasan berkontrak
1.         Penyelesaian sengketa keperdataan pada dasarnya masuk dalam ranah hukum perjanjian sehingga berlakulah asas kebebasan berkontrak.
2.         Para pihak bebas menentukan dalam melakukan pilihan hukum atau pilihan forum.
3.         Dalam hal para pihak telah memilih forum apa yang akan dipakai (misalnya arbitrase), maka lembaga peradilan yang menerima perkara yang didalamnya telah ada klausula pilihan forum tersebut wajib menolaknya.

Selanjutnya, kita akan membandingkan draft kontrak Mudharabah diatas dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 50/ DSN-MUI/ III/ 2006, kemudian pasal 55 UU NO 21 tahun 2008 dan asas kebebasan berkontrak, apakah isi akad sesuai dengan pasal dan asas tersebut atau belum.? Apabila kita cermati, isi akad diatas tidak ada klausula yang jelas menunjukkan adanya pilihan forum atau pilihan hukum untuk penyelesaian sengketa, apabila suatu hari terjadi sengketa. Lihat pasal 5 pada draft, isi akad tersebut hanya memihak pada pihak BMT saja, dalam hal ini tidak ada kesepakatan antara pihak BMT dan nasabahnya. Lihat juga pasal 7,  hal-hal yang termaktub juga tidak ada kesepakatan, walaupun terdapat beberapa klausul namun semuanya sudah di tentukan oleh pihak BMT. Jadi, isi akad tersebut tidak sesuai dengan pasal dan asas kebebasan berkontrak, karena para pihak tidak mencantumkan pilihan forumnya atau pilihan hukumnya.




























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahibul al maal, bank) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dalam hal aturan merujuk pada fatwa Dewan Syari’ah Nasional dan UU no.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.
Setelah ditelaah, hal-hal yang termaktub dalam draft Perjanjian Kontrak, tidak ada kesepakatan, walaupun terdapat beberapa klausul namun semuanya sudah di tentukan oleh pihak BMT. Jadi, isi akad tersebut tidak sesuai dengan Fatwa DSN-MUI, pasal dan asas kebebasan berkontrak, karena para pihak tidak mencantumkan pilihan forumnya atau pilihan hukumnya.












DAFTAR PUSTAKA

Draft Form Perjanjian Kredit BMT Syirkah Muawwanah NU Kramat.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 50/ DSN-MUI/ III/ 2006.
UU No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.





Comments