MAKALAH
“AKAD MUDHARABAH DI BMT SYIRKAH MUAWANAH NU
KRAMAT”
Disusun Guna
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Aspek Hukum dalam Ekonomi Islam
Dosen Pembimbing : Abdul Waid,
S.H.I., M.S.I
Disusun
Oleh :
1.
Ahmad
Fauzi 14.21003
2.
Abdul
Wahid Yusuf 14.21001
3.
Ahmad
Latifudin 14.21002
4.
Ali
Yasir 14.21004
5.
Chamam
Nasirudin 14.21005
Kelas/Semester : Ekonomi Syari’ah/ IV
Fakultas Syari’ah
INSTITUT AGAMA ISLAM
NAHDLATUL ULAMA
(IAINU) KEBUMEN TAHUN
2016
Jl.Tentara Pelajar No. 55 B Kebumen
54312
►► Telp/Fax : (0287) 385902
►► website : www.iainukebumen.ac.id
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemampuan kepada hambanya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat
pada waktunya.
Kami mengucapkan terima
kasih kepada bapak Abdul Waid, S.H.I., M.S.I selaku dosen mata kuliah Aspek Hukum dalam Ekonomi Islam
yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan kepada kami, sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah
ini sangat kami harapkan, atas saran dan kritiknya kami ucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum
Wr.Wb.
Kebumen,
15 Mei 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii........
BAB
I : PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
BAB II : PEMBAHASAN .......................................................................... 3.........
A. Pengertian Mudharabah.................................................................. 3
B. Landasan Syariah ............................................................................ 4
C. Syarat dan Rukun Mudharabah....................................................... 5
D. Berakhirnya akad Mudharabah........................................................ 7
E.
Hikmah
Mudharabah........................................................................ 8
F.
Draft Kontrak Pembiayaan Mudharabah......................................... 8
BAB
III : PENUTUP .................................................................................. 14
Kesimpulan
.................................................................................................. 14
DAFTAR
PUSTAKA ................................................................................. 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia
bisnis (usaha) adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak). Untuk
itulah, di dalam menjalankan bisnis betapa pentingnya kontrak yang harus dibuat
sebelum bisnis itu sendiri berjalan dikemudian hari. Eksistensi perjanjian atau
kontrak bernilai urgen bagi kehidupan manusia karena dapat memfasilitasi
pemenuhan kebutuhan hidup dan kepentingan manusia yang tidak mampu dipenuhi
sendiri tanpa bantuan orang lain. Aturan main dalam pemenuhan kebutuhan dengan
melibatkan orang lain haruslah jelas dan dewasa ini perlu dituangkan dalam
suatu kontrak yang dapat melindungi kepentingan masing-masing pihak. Sehingga
dapatlah dipahami apabila kontrak dikatakan sebagai sarana sosial dalam
peradaban manusia untuk mendukung kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata perjanjian atau persetujuan diartikan
sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa perjanjian yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata tidak
lengkap, dan terlalu luas. Hal itu disebabkan karena yang dirumuskan itu hanya
mengenai perjanjian sepihak saja. Padahal dalam perjanjian harus terdapat
interaksi aktif yang bersifat timbal balik dikedua belah pihak untuk
melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana
perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak
sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Adanya asas kebebasan berkontrak yang memperbolehkan kedua pihak
bebas menentukan apa yang boleh dan tidak boleh di dalam menentukan isi
perjanjian asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Artinya
kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah pembatasan
terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan
berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun
putusan pengadilan.
Melihat kian luas dan beragamnya pola bisnis berbasis perekonomian
syariah, maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam akad
atau kontrak di Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya Baitul Maal Wat Tanwil
(BMT) menjadi penting diupayakan implementasinya. Dalam
penerapan pola hubungan akad inilah sudah seharusnya tidak terdapat
penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah
pihak karena masing-masing menyadari akan pertanggungjawaban dari akad
tersebut. Tetapi dalam koridor masyarakat yang kurang sadar hukum, tidak dapat
dihindari munculnya perilaku saling mengeksploitasi satu sama lain. Sehingga
kuantitas dan kompleksitas perkara terutama perkara-perkara bisnis akan sangat
tinggi dan beragam.
Kontrak atau perjanjian merupakan intrumen penting dalam kehidupan
manusia untuk mengawal segala kegiatan bisnisnya tak terkecuali dalam
pembiayaan mudharabah. Seiring dengan perkembangan bisnis semakin
meningkat sehingga menuntut pihak lembaga keuangan syariah menggunaan model
kontrak yang simple, efisien, dan mampu menampung kepentingan para pelaku
bisnis melalui kontrak baku (standard contract).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perjanjian/ kontrak
Mudharabah
BMT merupakan salah satu lembaga keuangan syari’ah non bank di
bawah naungan Koperasi yang mempunyai peran penting dalam meningkatkan
produktifitas masyarakat, secara umum dengan menawarkan berbagai macam produk
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil baik secara mudharabah maupun musyarakah
kepada masyarakat. Namun dalam makalah ini, pemakalah hanya memfokuskan pada
pembiayaan mudharabah sebagai bentuk perjanjian kerjasama Baitul Maal Wa
Tamwil (BMT) Syirkah Muawanah NU Kramat dengan Nasabahnya.
Umumnya model perjanjian pembiayaan yang dipakai oleh pihak Baitul Maal Wa
Tanwil (BMT) dewasa ini adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang
klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya. Artinya, perjanjian di dalam
transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di
antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak yang satu
telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah
dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainya untuk disetujui dengan
hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainya untuk
melakukan negosiasi syarat-syarat yang disodorkan.
Adapun salah satu
produk yang paling terkenal di masyarakat ialah pembiayaan mudharabah, beberapa pengertian mengartikan bahwa mudharabah
adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama adalah
pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola modal (mudharib), dengan syarat bahwa hasil keuntungan yang
diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan bersama
(nisbah yang telah disepakati), namun bila terjadi kerugian akan ditanggung
shahibul maal.
Secara terminologi,
merujuk Fatwa DSN No.50/DSN-MUI/III/2006 tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh), mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (malik, shahibul al maal, bank) menyediakan seluruh modal, sedang
pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan
keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak. Dalam literatur lain, Mudharabah adalah Akad antara dua pihak
dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak
lainnya untuk diperdagangkan/ diusahakan. Laba dibagi dua sesuai dengan
kesepakatan.
B.
Landasan Syari’ah
1. Dasar Hukum Mudharabah dalam Al-Qur’an
QS. al-Nisa’ ayat 29:
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
“Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”.
QS. al-Ma’idah ayat 1:
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….”
QS. al-Baqarah ayat 283:
“…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.
2. Dasar Hukum Mudharabah Dalam Hadis Nabi
Hadis Nabi riwayat Thabrani:
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
3. Dasar Hukum Mudharabah Dalam Kaidah fiqh:
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
C.
Syarat dan Rukun Mudharabah
Imam An-Nawawi
menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:
1. Modal.
2. Jenis usaha.
3. Keuntungan.
4. Shighot (pelafalan
transaksi)
5. Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola.
Sedangkan
syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:
1.
Penyedia
dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.
Penawaran
dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.
Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat
kontrak.
c.
Akad dituangkan secara tertulis, melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3.
Modal
ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.
Modal
harus diketahui jumlah dan jenisnya.Modal dapat berbentuk uang atau barang yang
dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai
pada waktu akad.
b.
Modal
tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola
modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam
akad.
4.
Keuntungan
mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus
diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu
pihak.
b. Bagian
keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada
waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia
dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.
Kegiatan
usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh
penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan
usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia
dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia
dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak
boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi
kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
D.
Berakhirnya Akad Mudharabah
Para ulama menyatakan bahwa akad Mudharabah
akan berakhir apabila :
1. Masing-masing pihak menyatakan akad batal, atau mudharib
dilarang untuk bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau shahibul
maal menarik modalnya.
2. Salah
seorang yang berakad meninggal dunia. Jika shahibul maal yang wafat maka
menurut Jumhur Ulama akad mudharabah itu batal, karena akad mudharabah sama
dengan akad wakalah yang gugur disebabkan wafatnya orang yang mewakilkan.
Selain itu, Jumhur Ulama berpendapat bahwa akad mudharabah tidak bisa diwariskan.
Akan tetapi, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika salah seorang yang berakad
meninggal dunia, akadnya tidak batal, tetap dilanjutkan oleh ahli warisnya,
karena menurut mereka akad mudharabah boleh diwariskan.
3. Salah
seorang yang berakad kehilangan kecakapan bertindak hukum, misalnya gila.
4. Modal habis di tangan shahibul maal sebelum
dikelola oleh mudharib.
5. Menurut
Imam Abu Hanifah, jika shahibul maal murtad, maka akad mudharabahnya
batal.
E.
Hikmah Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk
memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu
mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki
kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja
sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik
modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib
memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan
amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan
dan menolak kerusakan.
F.
Draft
Perjanjian/ Kontrak
Terlampir
Untuk mengetahui apakah hukum perdata kita mengakomodasi perikatan
yang dibuat dalam bentuk perjanjian Islam, maka harus dilakukan tinjauan secara
umum terhadap hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia. Perikatan dalam hukum
perdata lahir dari Perjanjian dan Undang-undang. Hukum perjanjian diatur dalam
buku ke-III KUHPerdata dengan titel perikatan. Dalam pasal 1313 KUHPerdata
perjanjian diartikan ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
suatu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain, satu orang atau
lebih”. Kata mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang lain
berarti untuk menciptakan perikatan. Dengan adanya perjanjian maka para pihak
telah melakukan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan subyek
hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki
oleh subyek hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan pernyataan
kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum. Pada asasnya
akibat hukum ini ditentukan juga oleh hukum. Kemudian dalam pasal 1320
KUHPerdata mengatur mengenai sahnya suatu perjanjian, yaitu setiap perjanjian
agar secara sah mengikat bagi para pihak yang membuatnya harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut, yaitu:
1. Kesepakatan para pihak
Perjanjian baru
dapat dikatakan sah apabila para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
sepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang
lain. Dengan demikian berdasarkan pasal 1321 KUHPerdata, ditentukan bahwa tiada
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan secara kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
2.Kecakapan bertindak dari para pihak
Para pihak yang
membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Didalam KUHPerdata yang
disebut sebagai pihak-pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian
adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampuan.
3. Tentang hal tertentu
Bahwa
perjanjian yang dibuat harus mengenai suatu hal tertentu yang telah disetujui.
Menurut Subekti, suatu hal tertentu tersebut adalah untuk mempermudah
pengadilan dalam memutuskan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul
suatu perselisihan.
4. Serta mempunyai kausa yang halal.
Dengan suatu
sebab yang halal, perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan
dengan hukum, kebiasaan, ketertiban, dan kesusialaan.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ke tiga dan keempat merupakan syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakati. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Secara umum, tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai formalitas suatu perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, atau dengan suatu akta otentik. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau untuk menguatkan haknya sendiri maupun menyangkal suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Namun demikian, KUHPerdata mengecualikan ketentuan umum ini. Beberapa perjanjian khusus harus dibuat secara tertulis dengan suatu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, seperti misalnya; Perjanjian Kredit Bank, akta pendirian suatu Perseroan Terbatas dan sebagainya. Adapula beberapa perjanjian yang baru dapat mengikat hanya dengan penyerahan dari obyek yang diperjanjikan. Namun dalam praktek pada umumnya para pihak dari suatu perjanjian menginginkan suatu perjanjian dibuat setidak-tidaknya dalam bentuk tertulis dan dilegalesir oleh Notaris atau dalam bentuk akta notaril, dalam rangka memperkuat kedudukan mereka jika terjadi sengketa.
Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ke tiga dan keempat merupakan syarat obyektif, karena menyangkut obyek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakati. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
Secara umum, tidak diatur secara jelas dan tegas mengenai formalitas suatu perjanjian. Perjanjian dapat dilakukan secara lisan atau tertulis, atau dengan suatu akta otentik. Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau untuk menguatkan haknya sendiri maupun menyangkal suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Namun demikian, KUHPerdata mengecualikan ketentuan umum ini. Beberapa perjanjian khusus harus dibuat secara tertulis dengan suatu akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, seperti misalnya; Perjanjian Kredit Bank, akta pendirian suatu Perseroan Terbatas dan sebagainya. Adapula beberapa perjanjian yang baru dapat mengikat hanya dengan penyerahan dari obyek yang diperjanjikan. Namun dalam praktek pada umumnya para pihak dari suatu perjanjian menginginkan suatu perjanjian dibuat setidak-tidaknya dalam bentuk tertulis dan dilegalesir oleh Notaris atau dalam bentuk akta notaril, dalam rangka memperkuat kedudukan mereka jika terjadi sengketa.
Adanya
ketentuan umum tentang perikatan yang lahir dari perjanjian memang sangat
diperlukan sehubungan dengan berlakunya asas kebebasan berkontrak. Kebebasan
berkontrak berarti, bahwa orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru
yang tidak dikenal dalam perjanjian bernama dan yang isinya menyimpang dari
perjanjian bernama yang diatur dalam Undang-undang. Berdasarkan prinsip
”kebebasan berkontrak”, yang tersimpul dalam pasal 1338 KUHPerdata, tiap-tiap
perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak. Mereka tidak
dapat membatalkan atau mengakirinya tanpa persetujuan kedua belah pihak atau
alasan yang dibenarkan Undang-Undang. Para pihak tidak hanya terikat pada apa
yang secara tegas diperjanjikan, melainkan juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau
Undang-Undang. Disamping hal tersebut diatas semua persetujuan harus
dilaksanakan berdasarkan itikad baik oleh para pihak. Ketentuan mengenai itikad
baik harus diperhatikan untuk melindungi kepentingan debitur dari kesewenang-wenangan
kreditur dalam menyalahgunakan penafsiran bunyi perjanjian. Melalui itikad
baik, hakim diberi wewenang untuk melakukan intervensi (turut campur) dalam
pelaksanaan perjanjian. Jadi pada intinya suatu perjanjian apapun bentuk dan
jenisnya asal mengacu pada ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, tetap
berlaku sebagai Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Pasal 55 UU NO 21 tahun 2008
1. Penyelesaian sengketa perbankan syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkuan PA.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan
penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
Asas kebebasan berkontrak
1.
Penyelesaian sengketa keperdataan pada dasarnya masuk dalam ranah hukum
perjanjian sehingga berlakulah asas kebebasan berkontrak.
2.
Para pihak bebas menentukan dalam melakukan pilihan hukum atau
pilihan forum.
3.
Dalam hal para pihak telah memilih forum apa yang akan dipakai (misalnya
arbitrase), maka lembaga peradilan yang menerima perkara yang didalamnya telah
ada klausula pilihan forum tersebut wajib menolaknya.
Selanjutnya, kita akan membandingkan draft
kontrak Mudharabah diatas dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 50/ DSN-MUI/ III/ 2006, kemudian pasal 55 UU NO 21 tahun 2008 dan asas kebebasan
berkontrak, apakah isi akad sesuai dengan pasal dan asas tersebut atau belum.? Apabila kita cermati, isi akad diatas tidak ada klausula yang
jelas menunjukkan adanya pilihan forum atau pilihan hukum untuk penyelesaian
sengketa, apabila suatu hari terjadi sengketa. Lihat pasal 5
pada draft, isi akad
tersebut hanya memihak pada
pihak BMT saja, dalam hal ini tidak ada kesepakatan antara pihak BMT dan
nasabahnya. Lihat juga pasal 7, hal-hal
yang termaktub juga tidak ada kesepakatan, walaupun terdapat beberapa klausul
namun semuanya sudah di tentukan oleh pihak BMT. Jadi, isi akad tersebut tidak sesuai dengan pasal dan
asas kebebasan berkontrak, karena para pihak tidak mencantumkan pilihan
forumnya atau pilihan hukumnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (malik, shahibul al maal, bank) menyediakan seluruh modal,
sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan
keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak. Dalam hal aturan merujuk pada fatwa Dewan Syari’ah Nasional dan
UU no.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.
Setelah ditelaah, hal-hal yang termaktub dalam draft Perjanjian
Kontrak, tidak ada kesepakatan, walaupun terdapat beberapa klausul namun
semuanya sudah di tentukan oleh pihak BMT. Jadi, isi akad tersebut tidak sesuai
dengan Fatwa DSN-MUI, pasal dan asas kebebasan berkontrak, karena para pihak
tidak mencantumkan pilihan forumnya atau pilihan hukumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Draft Form
Perjanjian Kredit BMT Syirkah Muawwanah NU Kramat.
Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 50/ DSN-MUI/ III/ 2006.
UU No.21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah.
Comments
Post a Comment