PANDANGAN
NU
TERHADAP
GLOBALISASI DAN HAM
MAKALAH
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Semester I
Program
Strata Satu (S1) Fakultas Ekonomi Syariah
Mata
Kuliah : Ke-NU-an
Dosen
: Abdul Waid, S.H.I, M.S.I
Disusun
Oleh:
1. Ahmad Fauzi
2. Putri
Desinta A.P
3. Moh. Zaini
4. Rafika
Nanda Zahara
5. Praptiningsih
Rahayu
6. Nurgiantoro
7. Sulis S
INSTITUT AGAMA
ISLAM NAHDATUL ULAMA
(IAINU) KEBUMEN
Jl. Tentara
Pelajar ( (0287) 385902 Kebumen 54312
2014
KATA PENGANTAR
Assalam mu’alaikum wr.wb
Puji
syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “PANDANGAN NU
TERHADAP GLOBALISASI DAN HAM”, di mana dalam penyusunan makalah ini
banyak terdapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, antara lain bapak
dosen dan teman-teman kelompok, sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada “Abdul Waid, S.H.I, M.S.I” sebagai dosen pembimbing mata kuliah Ke-NU-an, dimana
telah membantu memberikan bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan makalah ini,
serta teman
teman yang mendukung proses pembuatan makalah ini.
Penulis sadar bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan yang masih perlu diperbaiki. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi perbaikan
tugas ini dimasa yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Amin.
Wassalamualaikum.wr.wb
Kebumen,
10 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Lembar
Judul.............................................................................................
1
KATA
PENGANTAR...............................................................................
2
DAFTAR
ISI..............................................................................................
3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................
.4
A. Latar
Belakang.......................................................................
4
B. Rumusan
Masalah.................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan....................................................................
4
BAB
II PEMBAHASAN...........................................................................
5
A. Pengertian Ilmu Akhlak..........................................................
5
B. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu
Akhlak............................. 6
C. Manfaat Mempelajari
Ilmu Akhlak........................................ 6
D. Sejarah Perkembangan Ilmu
Akhlak...................................... 6
E.
Hub. Ilmu Akhlak Dengan Ilmu yang Lain............................ 8
F. Etika, Moral, dan
Susila......................................................... 14
BAB
III PENUTUP.................................................................................
18
Kesimpulan...................................................................................
18
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................
19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Balakang Masalah
Sebagai jam’iyyah yang menganut paham Aswaja, NU tentu tidak
bisa dilepaskan dari persoalan global. Masalah kemanusiaan sejalan dengan
perkembangan zaman dan kini sedang masuk dalam era globalisasi, berkembang
demikian pesatnya. Disini NU dituntut untuk mampu memberikan jawaban-jawaban
solutif dan menempatkan dirinya pada peran stratregis bagi perjuangan
kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan, dan kesetaraan. Masalah globalisasi
dan hak asasi manusia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia. Sejak dalam kehidupan manusia terjadi interaksi sosial, sesungguhnya
pada saat itulah masalah-masalah tersebut mulai ada.
Globalisasi dan hak asasi manusia adalah sebuah tema yang telah lama mewacana. Hingga kini, konsep globalisasi dan hak
asasi manusia masih terus menjadi materi perbincangan di kalangan ilmuwan. Di mana ia merupakan sebuah istilah teknis yang sering digunakan dalam
konferensi dan perbincangan intelektual masa kini. Kendati demikian, proses
globalisasi dan hak
asasi manusia itu sendiri telah memosisikan diri
sejak permulaan sejarah umat manusia, kendati berjalan lambat. Satu hal yang
menjadikannya terlihat baru hanyalah karena cepatnya perubahan yang terjadi
sebagai imbas dari perkembangan teknologi.
Ironisnya, konsep globalisasi dan
hak asasi manusia belakangan ini lebih banyak diatributkan pada isu-isu
ekonomi, yang seolah menyiratkan ternafikannya dimensi yang lain. Padahal, globalisasi dan hak asasi manusia itu sendiri bukanlah sekadar dimensi ekonomi, melainkan sebuah
konsep yang bersinggungan dengan segenap sendi kehidupan, termasuk agama.
NU sebagai
ormas islam menjadi patut mendapat uraian yang
utuh terkait dengan globalisme dan hak
asasi manusia yang kian tak terbendung. Paling tidak, uraian
ini akan mengelaborasi fenomena keislaman khususnya
NU kekinian di tengah himpitan
globalisme. Salah satu yang menjadi fokus kajiannya adalah PANDANGAN NU TERHADAP GLOBALISASI DAN HAM.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian Globalisasi dan HAM ?
2.
Bagaimana langkah NU dalam menghadapi Globalisasi
dan HAM ?
C.
Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan masalah dalam makalah ini ialah :
1.
Mengetahui pengertian Demokrasi dan HAM secara
umum.
2.
Mengetahui langkah-langkah NU dalam menyikapi adanya
Globalisasi dan HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kiprah Kiai NU
Sejak
Islam masuk pertama kali ke Indonesia lebih dari seribu tahun yang lalu, kiai
atau ulama telah menempati posisi dan peran penting dalam setiap perubahan
sosial-politik yang ada, bahkan hingga saat ini. Pada masa penyebaran agama
Islam periode awal, saat bumi Nusantara dicengkram oleh kejamnya sistem
kolonial, pada masa perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, serta
pada era mengisi kemerdekaan dalam gerak pembangunan masyarakat, kiai atau
ulama tidak pernah absen dari keterlibatan di dalamnya dengan berbagai
manifestasi pemikiran dan gerakan yang sangat plural dan dinamis.
Tulisan
ini memaparkan bagaimana kiai-kiai besar Nahdlatul Ulama (NU) berperan
strategis dalam proses kebangsaan dan perubahan masyarakat secara keseluruhan.
Peran strategis itu terlihat dalam pemikiran agama dan kemasyrakatannya yang
mendalam yang mampu menembus struktur sosial yang paling dalam dengan pemikiran
keagamaan yang tidak pernah sepotong-potong. Dibarengi dengan sikap-sikap
sosial dan keberagamaan yang arif dan penuh kebijaksanaan, para kiai mampu
menjadi kekuatan yang sangat mandiri dan mengakar, tidak mudah larut
dalam arus perubahan tidak pernah menentang arus perubahan, tetapi selalu bisa
mengintegrasikan perubahan kedalam dinamika masyarakat dengan menjinakan
efek-efek negatif yang dibawa oleh setiap gerak perubahan itu sendiri.
Kapasitas
seperti itu dapat tercapai karena kiai-kiai NU membangun dunianya diatas
kompleksitas pengetahuan keagamaan dan kenyataan hidup kemasyarakatan yang ada.
Solusi fiqih yang ditawarkan bukan semata-mata solusi hukum yang bersifat
normatif, tetapi juga solusi realistik berdasarkan pendekatan kemanusiaan dan kemaslahatan
yang lebih luas.[1]
Pemikiran
dan sikap-sikap sosial kiai memiliki tiga
factor atau fungsi yang
memungkinkan kyai memiliki kelebihan dalam masyarakat.
§
Pertama,
fungsi pertahanan, yaitu mempertahankan tradisi sosial dan keagamaan berhadapan
dengan tradisi baru yang datang dari luar dalam sintesisme yang saling
menguatkan. Pemikiran sosial keagamaan memberi daya tahan luar biasa pada
kehidupan masyarakat sebagaiman terekam dalam perjalanan sejarah kiai dan
masyarakat sekitarnya.
§
Kedua,
fungsi sebagai daerah sangga, yaitu ketika suatu proses sosial yang berhadapan
atau konflik tidak mencapai kompromi, maka kiai selalu bisa menyediakan ruang
sangga sehingga konflik atau perbedaan tidak mengarah kepada kerusakan yang
lebih luas dan sikap ekstrim lainnya.
§
Ketiga,
fungsi dinamisasi, dimana pemikiran keagamaan kiai yang mendalam dan menyeluruh
mampu menjadi gaya gerak yang dinamis sehingga selalu ada trobosan besar yang
dilakukan para kiai dan masyarakatnya. Dinamisasi itu mungkin tidak terlalu
nyata di permukaan, tetapi sangat dalam pengaruhnya terhadap cara berfikir dan
ruang batin masyarakat.[2]
B. Globalisasi (
Fikrah 'Alamiyyah )
Menurut asal katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya
ialah universal.
Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau
perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh
wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar
definisi kerja (working definition), sehingga
bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu
proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan
kehidupan baru dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.[3]
Globalisasi
adalah suatu masa yang ditandai antara lain dengan pesatnya tuntutan demokrasi
dan desakan pemberlakuan hak asasi manusia (HAM) dan tuntutan lingkungan hidup
yang ramah.[4]
Sampai saat ini globalisasi hanyalah sebuah tema yang
telah lama mewacana, konsep globalisasi masih terus menjadi materi perbincangan
di kalangan ilmuwan dari varian disiplin keilmuan. Ia merupakan sebuah istilah
teknis yang sering digunakan dalam konferensi dan perbincangan intelektual masa
kini. Kendati demikian, proses globalisasi itu sendiri telah memosisikan diri
sejak permulaan sejarah umat manusia, kendati berjalan lambat. Satu hal yang
menjadikannya terlihat baru hanyalah karena cepatnya perubahan yang terjadi
sebagai imbas dari perkembangan teknologi.
Ironisnya, konsep globalisasi belakangan ini lebih
banyak diatributkan pada isu-isu ekonomi, yang seolah menyiratkan
ternafikannya dimensi yang lain. Hal ini terlihat pada definisi globalisasi
yang diungkapkan oleh Princeton N. Lyman, yaitu “rapid growth of
interdependency and connection in the world of trade and finance”. Padahal,
globalisasi itu sendiri bukanlah sekadar dimensi ekonomi, melainkan sebuah
konsep yang bersinggungan dengan segenap sendi kehidupan, termasuk agama.
NU sebagai ormas islam menjadi patut mendapat
uraian yang utuh terkait dengan globalisme yang kian tak terbendung. Paling
tidak, uraian ini akan mengelaborasi fenomena keislaman kekinian di tengah
himpitan globalisme. Dalam hal ini yang menjadi embrio
penggerak NU dalam menghadapi tuntutan tersebut ialah diawali oleh kalangan
aktivis-aktivis (aktivis atau mantan aktivis mahasiswa, aktivis LSM, dan
sebagian kecil dari aktivis ParPol) dan intelektual yang masih tergolong muda,
yang semua itu dikaitkan dengan kelembagaan NU, mereka ada yang bergerak di
luar struktur kelembagaan NU dan ada juga yang berkiprah langsung pada basis
gerakan NU[5]. Dalam hal ini NU juga telah memberikan solusi yang sangat tepat
dengan fikrah annahdliyyah, berkomunikasi, dan berbuat baik dengan non muslim
tanpa merugikan NU itu sendiri atau diberi ruang tapi ada batasannya. Jika tidak demikian maka Islam atau khususnya NU tidak
akan mampu memimpin suatu sistem
pemerintahan.
Dengan demikian NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya
melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar-dasar paham keagamaan yang
membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Inilah yang kemudian kita sebut Khittah Nahdlatul Ulama yang dimana
mempunyai arti suatu landasan berpikir, bersikap, bertindakdengan cara
mengambil suatu jalan tengah. Sesuai motto hidup warga Nahdliyin yang sangat
popular :
المُحَافَظَةُ
عَلَى الْقَدِئْمِ الصّالِحِ وَالْاُخْذُ بِالْجَدِيْىدِ الْاصْلَحِ
“ Mempertahankan tradisi lama
yang masih relevan, dan responsip terhadap gagasan baru yang lebih baik dan
lebih relevan”
Kemudian
diperkuat dengan Hadist Nabi :
خَيْرٌ الْاُمُوْرِ اِوْسَطُهَا
“ Sebaik-baik perkara itu ialah
pertengahanya”[6]
Pemikiran di atas, pada dasarnya menjelaskan suatu
dasar dimana perlunya melakukan perubahan atau pembaharuan NU dalam kaitanya menghadapi
perkembangan zaman ( globalisasi).[7]
Perkembangan global yang dipengaruhi secara kuat oleh
berbagai usaha pembangunan dan pembangunan berparadigma modernisasi dalam
berbagai aspeknya (sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi ), telah
menjadikan semua pihak harus berupaya mengantisipasinya dengan mempersiapkan
diri untuk beradaptasi. Sebab kalau tidak mampu beradaptasi atau mengikuti
kehendak perubahan dari arus globalisasi atau modernisasi, maka niscaya secara
otomatis akan tertinggal atau tidak berdaya. Kenyataan seperti itu, NU melihat
bahwa semua itu adalah sebuah tantangan di mana NU baik sebagai jama’ah (massa)
ataupun Jam’iyyah (organisasi) harus melakukan berbagai upaya penanggulangan.
Dalam konteks ini orang-orang NU yang terlebih dahulu
sadar dengan kondisinya di kaitkan dengan dengan perkembangan masyarakat di
luarnya yang demikian pesat, di mana hanya orang-orang yang biasa beradaptasi
dengan perkembangan itulah yang bisa survive( ), sementara orang-orang NU
sendiri akan mengalami kesulitan.
“Sebagai akibat logis, hanya orang-orang pintar dan
berwawasan modern sajalah yang akan lebih banyak mendapat kesempatan berpacu
dengan zaman dibanding dengan orang-orang ber-wawasan “tradisional”, yang sudah
cukup puas menjadi “penonton yang baik”. Ya karena eksistensi “trasidional”
pada akhirnya akan diambil alih oleh robot-robot yang notabene memang sengaja
disiapkan oleh orang-orang pintar untuk mmenggusur mereka.
Kutipan di atas merupakan wujud dari ekspresi-reflektif
dari seorang NU yang memberikan sinyal-sinyal kepada sesama NU lainya agar
tidak tidur nyenyak menikmati warisan tradidional yang begitu nyaman dirasakan
seolah-olah tak memperdulikan perkembangan yang terjadi di dunia luar. Dalam
bahasa yang lain juga diungkapkan oleh KH. MA Sahal, beliau menekankan kesadaran
pada pentingnya orang-orang NU untuk
melakukan instropeksi, dengan menatap dirinya sendiri secara utuh dari berbagai
fenomena dan dmensi untuk mengetahui lebih nyata potensi-potensi yang ada
hubunganya dengan masalah-masalah yang terjadi kini dan esok.[8]
Tinggal masalah “Islam yang bagaimana?” Bagaimana
menyesuaikan agama terhadap adanya globalisasi yang khas Indonesia, bukan
seperti yang terjadi di negara Barat atau Timur Tengah. Jadi yang menjadi PR NU ialah bagaimana
pembaruan islam yang di sesuaikan dengan keadaan zaman seperti sekarang ini,
yang terpenting adalah meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat muslim.
Masyarakat
Indonesia saat ini sangat buruk pada masa sekarang terutama di Era globalisasi
kini telah merambah masuk di semua sektor kehiupan bangsa indonesia, yang pada
akhirnya akan berdampak terhadap budaya berfikir masyarakat indonesia. Saat ini
pola berfikir masyarakat indonesia yang cenderung (tidak seluruhnya) telah
banyak mengarah pada budaya-budaya barat yang notabane cenderung mencontoh pada
perilaku yang negatif. Budaya tersebut tercermin dengan menjadikan budaya
barat sebagai sebuah patokan dari kemajuan
peradaban berfikir manusia. Banyak saat ini generani muda yang meniru pola
kehidupan barat, dengan berbagai gaya dan perilakunya yang negatif dalam
kehiodupan sehari, atau saat ini dikenal dengan sebutan “anak gaul” dimanakan
idedalisme kita saat globalisasi merambah masuk dalam sistem kehidupan kita,
apakah ini bentuik dari memudarnya pola berfikir generasi muda khususnya NU sebagai
generasi penerus bangsa.
Era globalisasi memang tidak bisa dianggap selalu membawa dampak
yang negatif bagi kita, namun dalam hal ini menurut saya eksistensi dari
globalisasi tersebut lebih dominan kearah negatif, banyak contoh kasus yang
dapat kita temukan, yaitu : maraknya seks bebas dilalangan remaja , yang saat
ini dianggap bukan hal yang tabu lagi, perkembangan pornografi yang dengan
kemajuan teknologi yang canggih banyak dikonsumsi oleh anak dibawah umur dengan
bebas dan mudah, tingkat penggunaan obat-obat terlarang yang sangat memperihatikan.
Kita sebagai negara dunia ketiga dijadika objek pasar dari penjualan obat
terlarang internasional.
Oleh karena itulah kita perlu membangun kembali pondasi pola
berfikir kita, sebagai pengemban tugas berat penerus cita-cita bangsa yang
beradab sesuai dengan perilaku kita sebagai warga Nahdliyin.
Langkah awal yang harus dilakukan menurut saya adalah coba kita gali terlebih
dahulu potensi-potensi yang terdapat pada banga kita, masih banyak potensi yang
belum kita gali, yang sebenarnya hal tersebut sangat berpengaruh bagi kita
untuk tetap menjaga dan melestarikan eksistensi kultur sosial budaya bangsa
indonesia, jangan jadikan budaya barat (dalam hal ini masuk melalui era
globalisasi) sebagai patron pola berfikir, karena dari pola berfikir inilah
nantinya perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari secara akan tidak akan terpengaruh
dengan pola kehidupan budaya barat yang bebas. Tunjukkaan bahwa kita sebagi
bangsa yang besar dengan keanekaragaman kultur sosial dan
budaya yang
mampu bersaing.[9]
Islam merupakan ajaran yang menempatkan manusia pada
posisi yang sangat tinggi. Bahkan Al-Qur’an menjamin adanya hak pemuliaan
pengutamaan manusia.
ولقد كرمنا
“Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dsan di lautan, Kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk yang telah Kami ciptakan”. (QS. Al-isra’:70)
Dengan dasar tersebut maka manusia memiliki hak
al-karamah dan hak al-fadhilah. Apalagi sudah kita ketahui bahwa misi
Rasululloh adalah rahmatan lil ‘alamin, di mana kemaslahatan atau kesejahteraan
merupakan tawaran untuk seluruh manusia dan alam semesta.
Musyawarah
Nasional NU (Munas NU) di Lombok, 20 Nopember 1994 memutuskan bahwa NU menerima
HAM dengan fikroh annahdliyyah, yaitu
: hifzh al-din, hifzh al-nafs
wa al'irdh,
hi fzh al-aql, hifzh
al-nasl dan
hifzh al-maal,
yang terkenal dengan kulyaatu al khoms (lima prinsip dasar).[10]
1. Hifzh al-din (memelihara agama/ hak beragama)
memberikan jaminan hak kepada
umat islam untuk memelihara agama dan keyakinanya (al-din). Sementara itu islam
juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas
etnis, oleh karena itu islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya
pemaksaan agama yang satu dengan agama lainya. Agamamu ya agamamu, agamaku ya
agamaku.
2. Hifzh al-nafs wa al'irdh
(memelihara jiwa/ hak hidup dan kehormatan)
Memberikan hak atas setiap
jiwa (nyawa) manusia , untuk tumbuh dan berkembang secara selayaknya. Dalam hal
ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas
penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari
penganiayaan dan kewenang-wenangan.
3. Hi fzh al-aql (memelihara akal/
kebebasan berekspresi)
adalah adanya suatu jaminan
atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini,
melakukan penelitian, dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam
melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi,
miras dan lain-lain.
4. Hifzh al-nasl (memelihara keturunan)
Merupakan jaminan atas
kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan),
jaminan masa depan keturunan dan generasi penerusyang lebih baik dan
berkualitas. Free sex, zina menurut syara’, homo sex, adalah perbuatan yang
dilarang karena bertentangan dengan
prinsip ini.
5. Hifzh al-maal (memelihara
harta/ hak jaminan sosial)
Dimaksudkan sebagai jaminan
atas pemilikan harta benda, property dan lain-lain. Dan larangan adanya
tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri,, korupsi,
monopoli, dan lain-lain.
Lima prinsip di atas sangat relevan dan bahkan seiring
dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia (HAM). Di sisi lain Islam juga
sebagai agama tauhid, datang untuk menegakan kalimah la ila ha illalloh, tiada
tuhan selain Allah. Suatu keyakinan (aqidah) yang menitikberatkan tuntutan
ketaatan kepada segenap kekuasaan duniawi serta segala perbudakan manusia dengan
berbagai macam jenis kelamin, status social, warna kulit dan sebagainya.
Keyakinan seperti ini jelas akan memberikan kesuburan bagi tumbuhnya penegakan
HAM.[11]
Masalah
kemanusiaan merupakan masalah global yang melampaui batas-batas etnik, ras,
maupun ideology. Sikap penolakan terhadap segala bentuk deskriminasi,
ketidakadilan, penindasan, dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki
oleh bangsa, suku, agama, dan kelompok manapun di seluruh penjuru dunia.
Jauh
sebelum itu, Piagam Magna Charta (1215), Deklarasi Kemerdekaan Amerika (1776 M)
telah menyuarakan gagasan persamaan, persaudaraan dan kebebasan. Jauh sebelum
itu, Nabi Musa dengan segala pengorbanannya berupaya membebaskan bangsa Israel
dari penindasan Fir,aun ; Nabi yunus rela terjun ke laut demi keselamatan
umatnya yang ada di perahu ; begitu juga nabi-nabi sebelumnya. Akhirnya , Nabi
Muhammad SAW yang dengan segala pengorbanannya berhasil menciptakan masyarakat
madani (civilized sosiety).
Upaya-upaya
penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia secara keseluruhan
yang tentu saja harus mendapatkan respons serius dari agama. Kenyataanya bahwa
setiap kelompok, bangsa, ideology, maupun agama manapun di seluruh penjuru
dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakkan dan pemenuhan HAM
seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan,
dan kezaliman.
D.
Sikap NU
a. Sikap
NU Terhadap Globalisasi
Globalisasi
menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses masuk ke ruang lingkup
dunia. Globalisasi juga dapat diartikan suatu sistem atau tatanan yang
mengglobal atau mendunia, sehingga seseorang atau Negara tidak mungkin untuk
mengisolasi diri sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan komunikasi.
Sebagai
jam’iah diniyah Islamiyah yang menganut paham ASWAJA, NU tentu tidak bisa
dilepaskan dari persoalan global. Masalah kemanusiaan sejalan dengan
perkembangan jalan yang merupakan masalah global, NU dituntut untuk mampu
memberikan jawaban dan menempatkan dirinya pada peran strategis bagi perjuangan
kemanusiaan, menegakkan keadilan persamaan, dan kesetaraan. Masalah hak asasi
manusia, jender, demokrasi, dan plurarisme merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan manusia.
b. Sikap
NU Terhadap Hak Asasi Manusia
Masalah
kemanusiaan merupakan masalah global yang melampaui batas-batas etnik, ras, maupun
ideologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi, ketidak adilan,
penindasan, dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki oleh bangsa,
suku, agama, dan kelompok maupun di penjuru dunia. Masalah HAM mulai menjadi
perhatian serius, setelah lahirnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tanggal 10
Desember 1948 terjadi Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia atau Universal
Declaration of Human Right (UDHR). Sejak awal, Islam (termasuk NU) menentang
penindasan terhadap hak-hak kemanusiaan, perbedaan derajat atas dasar
kekuasaan, tanah asal, warna kulit, ataupun keturunan. Al-Qur’an dengan tegas
menyatakan bahwa manghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan
perbuatan orang-orang kafir.
Dalam
Al-Qur’an surat Ali ‘imran:21
“Sesungguhnya orang-orang kafir terhadap
ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tak dibenarkan dan membunuh
orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa
mereka akan menerima siksa yang pedih”.
Dinyatakan,
globalisasi membawa dampak positif bagi umat Islam, yakni dapat meningkatkan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta membangun networking yang positif
dengan umat Islam sendiri atau dengan umat lainnya. Namun, globalisasi
melahirkan universalisasi nilai-nilai budaya dan moral dari Barat, seperti
liberalisme dan isu hak asasi manusia (HAM). Karena itu, Munas Alim Ulama NU
menitahkan adanya penyaringan terhadap budaya yang datang dari luar Islam. NU,
misalnya, memandang bahwa HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia yang telah
diberikan oleh Allah SWT dan tidak ada satu makhluk pun yang berhak untuk
melanggar HAM seseorang.
“Namun,
dalam pandangan NU, manusia dalam melakukan hak dasarnya dibatasi oleh
aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah,”
demikian dalam butir kesepakatan. NU juga menolak upaya-upaya penafsiran
kembali nash-nash syar’i yang sudah qoth’i al dilalah (jelas dan paten)
walaupun atas nama Globalisasi, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Universalisme. Dinyatakan,
NU tidak menafikan Globalisasi dalam arti cepatnya arus informasi sebagai
akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak akan mengasingkan diri
dari derasnya arus informasi, justru sebaliknya NU akan proaktif dalam mencari
informasi untuk ditelaah, dipelajari, dipilah dan dipilih mana yang akan
bermanfaat bagi kemajuan umat dan mana yang akan menjerumuskan umat ke dalam
kesesatan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Globalisasi merupakan suatu gejala wajar yang pasti akan
dialami oleh setiap bangsa di dunia, baik pada masyarakat yang maju, masyarakat
berkembang, masyarakat transisi, maupun masyarakat yang masih rendah taraf
hidupnya. Dalam era global, suatu masyarakat/ negara tidak mungkin dapat
mengisolasi diri terhadap proses globalisasi. Jika suatu
masyarakat/ negara
mengisolasi diri dari globalisasi, mereka dapat dipastikan akan terlindas oleh
jaman serta terpuruk pada era keterbelakangan dan kebodohan.
Dampak positif dan negatif pada pengaruh globalisasi
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara pun ada. Salah satunya era
globalisasi pada sistem politik. Bangsa Indonesia telah menerapkan kehidupan
berdemokrasi yang telah membawa perubahan-perubahan yang besar, diantaranya
pelaksanaan pemilu legislatif dengan sistem multipartai dan pemilihan presiden
dan wakil presiden secara langsung. Itu dampak positifnya.
Sedang dampak negatifnya ialah pada
kebanyakan negara berkembang akan memunculkan sikap dan tindakan anarkis
yang dapat memakan banyak korban diantara sesama. Wawasan kebangsaan semakin
terpuruk sehingga dapat menimbulkan disintegrasi bangsa. Seperti munculnya
Gerakan Papua Merdeka dan Gerakan Aceh Merdeka
[1] Laode Ida, NU
Muda : Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, (Jakarta : Erlangga, 2004),
hlm. 3.
[2]
Ibid, hlm. 3.
[4]
http://www.wahidinstitute.org/v1/Opinion/Detail/?id=182/hl=id/Ulama_Dan_Globalisasi_Fikrah_Alamiyyah, 23 November 2014
[5]
Laode Ida, NU Muda : Kaum Progresif dan Sekularisme
Baru………………………. hlm. 15.
[6] Sahal Mahfudz,
Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama, (Surabaya :
Diantama, 2004), hlm. xlix
[7]
Laode Ida,
NU Muda : Kaum Progresif dan Sekularisme Baru………………………. hlm. 60.
[10]
Sahal Mahfudz, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan
Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama……………..hlm. 621.
[11]
Ibid.
Comments
Post a Comment