MAKALAH
ARTI DAN TUJUAN DASAR TASAWUF
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Pendahuluan
Tasawuf
merupakan salah satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan
tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan rasulullah
saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan islam
sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada
masa rasulullah belum dikenal istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu
hanyalah sebutan sahabat nabi.
Munculnya
istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu
Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam
sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud.
Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Tulisan ini akan berusaha memberikan paparan tentang zuhud dilihat dari
sisi sejarah mulai dari pertumbuhannya sampai dengan peralihannya ke tasawuf.
Zuhud menurut para ahli sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului
tasawuf. Menurut Harun Nasution, station yang terpenting bagi seorang calon
sufi ialah zuhd yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
Sebelum menjadi sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid.
Sesudah menjadi zahid, barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan
demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi sebaliknya tidak setiap zahid
merupakan sufi.
Secara
etimologis, zuhud berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya,
berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Zuhud disini berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah
ada ditangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari
tangannya. Bagi Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan
atau terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang
membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu.
Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak
menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan bahwa zuhud
adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi
disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf
adalah para hartawan, tapi keduanya adalah para zahid dengan harta yang
mereka miliki.
Zuhud merupakan salah satu maqam yang sangat penting dalam
tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama tasawuf yang senantiasa
mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang maqamat,meskipun
dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali menempatkan zuhud
dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,
al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi
menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd,
al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Qusyairi menempatkan zuhud dalam
urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud, al-tawakkul dan al-ridla.
Jalan
yang harus dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah.
Jalan itu sulit,dan untuk pindah dari maqam satu ke maqam yang
lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang bukan singkat, kadang – kadang
seorang calon sufi harus bertahun – tahun tinggal dalam satu maqam.
Benih
– benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat
dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW.
Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira
terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini
merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain
yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan
dengan keteduhan iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh
sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak
dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan
sufi di abad – abad sesudahnya.
Setelah
periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke
II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa
sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin
Affan berkepanjangan sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut
ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok
kelompok Bani Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada
masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem
pemerintahan monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat
kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan
politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat
jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus
pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam
ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat
sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati
Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka
menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk
membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan
sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh Mukhtar bin
Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.
Suatu
kenyataan sejarah bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam
Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu
Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada
masa ini para sufi telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya
tidak dikenal.Jika pada akhir abad II ajaran sufi berupa kezuhudan, maka
pada abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam
kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi
mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan
(‘ain al jama’). Sejak itulah muncul karya
–karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243
H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena
itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu
tasawuf.
B.
Pengertian dan Tujuan Tasawuf
Dari sejumlah bahas terdapat sejumlah bahasa/istilah yang
dihubungkan para ahli untuk menjelaskan tentang tasawuf. Harun Nasution
misalnya, ia menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu
Al-Suffah (orang yang ikut pindah dengan nabi dari Mekkah ke Madinah). Saf
(barisan), Sufi (suci), Sophos (bahasa Yunani: hikmah) dan Suf (kain wol).
Keseluruhan kata ini bisa saja dihubungkan dengan tasawuf. Yakni kata al-Suffah
(orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah) misalnya
menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya/harta benda
semata-mata karena Allah. Mereka rela meninggalkan semuanya di Mekkah untuk
hijrah bersama Nabi ke Madinah. Selanjutnya kata Saf (menggambarkan orang yang
selalu berada di barisan depan dalam beribadah dan melakukan kebajikan)
demikian pula kata Sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara
dirinya dari berbuat dosa dan kata Sophos (hikmah) menggambarkan keadaan jiwa yang
senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dari segi bahas dapat segera dipahami bahwa tasawuf adalah
sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana,
rela berkorban untuk kebahagiaan dan selalu bersikap bijaksana, sikap jiwa yang
demikian itu pada hakikatnya adalah Ahlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat
para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing.
Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli
untuk mendefinisikan tasawuf yakni sudut pandang manusia sebagai mahluk
terbatas, manusia seabgai mahluk yang harus berjuang dan manusia sebagai mahluk
bertuhan.
Pada intinya tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga tercermin ahlak yang mulia dan dekat dengan Allah Swt. Inilah esensi
atau hakikat tasawuf itu sendiri.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus
langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh
kesadaran. Bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut
akan menuju kontek komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal
ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat
dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu dengan Tuhan) demikian menjadi
inti persoalan “sufisme” baik pda agama Islam maupun diluarnya.
Dengan demikian nampak jelas bahwa tasawuf sebagai ilmu
agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang
merupakan substansi Islam. Hakikat tasawuf adalah keadaan lain yang lebih baik
dan lebih sempurna, yakni suatu perpindahan dari alam kebendaan kepada alam
rohami.
Dalam rangka mensucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan
dan kebahagiaan hidup tersebut. Maka diperlukan suatu latihan dari tahap satu
ketahap lain yang lebih tinggi dan jalan satu-satunya menurut semua sufi adalah
dengan kesucian jiwa dan untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa
itu sendiri memerlukan pendidiakan dan latihan mental yang panjang dan
bertingkat.
Beberapa ayat dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia dekat
sekali pada Tuhan, diantaranya:
Surat
al-Baqarah ayat: 186:
Artinya
: dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.
Tasawuf
ialah "membersihkan hati dan anggota-anggota lahir daripada dosa-dosa,
kesalahan dan kesilapan". Artinya bersih luar dan bersih di dalam.
Bersih
di dalam: Maksudnya membersihkan hati daripada riyak, ujub, pendendam dan
lain-lain mazmumah, lebih-lebih lagi daripada syirik.
Bersih
di luar: Maksudnya bersih daripada membuat yang haram, berpakaian yang haram,
bercakap yang haram, menjaga mata, telinga daripada melihat dan mendengar yang
haram serta lain-lain.
1)
Tasawuf
Merupakan Intipati atau Isi Ajaran Islam
Tamsilannya
ibarat buah. Kalau syariat lahir merupakan kulit, tasawuf itu adalah isi buah.
Kulit perlu ada sebagai pengawal atau pelindung isi. Walaupun kulit tidak
dimakan tapi ia perlu dijaga supaya baik, barulah isi buah baik dan dapat
dimakan. Biasanya orang melihat kulit untuk menilai isi. Untuk mendapat isi
yang baik, biasanya kulit mesti baik. Kalau kulit rosak, tentu isinya rosak.
Biasanya antara kulit dengan isi, lebih susah hendak mendapatkan isi yang baik
berbanding kulit yang baik. Contohnya buah durian. Kalau kulit rosak, seluruh
isinya akan rosak. Sedangkan isi itulah yang hendak dimakan untuk membangunkan
tenaga.
2)
Tasawuf
Dikatakan Juga Syariat Batin
Batin
juga perlu bersyariat. Nafsu perlu bersyariat. Akal juga perlu bersyariat.
Tasawuf membantu syariat batin. Kalau tiada tasawuf maka Islam tiada seni dan
tiada keindahan. Oleh sebab itu tasawuf patut diambil berat dan dipelajari
sungguh-sungguh. Hendak membangunkan syariat batin ini amat sulit. Bukan senang
hendak syariatkan nafsu, akal dan hati. Syariat lahir perlu dibangunkan supaya
dengan itu mudah pula dibangunkan syariat batin.
3)
Peranan Tasawuf
1.
Membersihkan
hati dan jawarih (anggota) daripada dosa, kesalahan dan kesilapan.
2.
Menghidupkan
rasa kehambaan.
3.
Menanamkan rasa
keikhlasan.
4.
Menghidupkan
rasa bertuhan.
4)
Menghidupkan rasa
kehambaan
Ilmu
tasawuf dapat menghidupkan rasa kehambaan. Untuk kita terasa hamba.
Menghidupkan rasa takut pada Allah yang mesti ada di mana-mana. Rasa malu mesti
dihidupkan kerana Allah melihat, Allah memerhati. Menghidupkan rasa hina diri
di hadapan Tuhan. Rasa kehambaan ini bila dihidupkan, mazmumah akan hilang
dengan sendiri. Orang yang terlalu sombong, ego, ujub itu adalah disebabkan
tidak ada rasa kehambaan.
5)
Menghidupkan
rasa bertuhan
Hati
sentiasa sedar Allah melihat, mengetahui dan Allah sentiasa ada bersama kita.
Inilah kunci kita tidak melakukan dosa. Contohnya dalam majlis raja, kita tidak
akan buat salah sekalipun menguap. Kita amat jaga tingkah laku kerana kita
sedar raja yang berkuasa sedang melihat kita. Maka di hadapan Raja segala raja
sepatutnya lebih-lebih lagilah kita malu hendak buat dosa. Rasa bertuhan mesti
bertapak di hati, barulah rasa kehambaan itu diperolehi.
C.
Ilmu Tasawuf
Ilmu
tasawuf adalah salah satu ilmu dasar dalam Islam, selain dari Aqidah dan
Syariat. Ilmu tasawuf/rohani adalah ilmu yang mempelajari perilaku tabiat roh
atau hati baik yang baik (mahmudahnya ) maupun buruk (mazmumah). Bukan untuk
mengetahui hakikat zat roh itu sendiri. Hakikat roh itu sendiri tidak akan
dapat dijangkau oleh mata kepala atau tidak akan dapat dibahaskan.
Tetapi
apa yang hendak dibahaskan adalah sifat-sifatnya sahaja supaya kita dapat
mengenal sifat-sifat roh atau hati kita yang semula jadi itu. Mana-mana yang
mahmudahnya (positif) hendak dipersuburkan dan dipertajamkan. Kita
pertahankannya kerana itu adalah diperintah oleh syariat, diperintah oleh Allah
dan Rasul dan digemari oleh manusia. Mana-mana yang mazmumahnya (negatif)
hendaklah ditumpaskan kerana sifat-sifat negatif itu dimurkai oleh Allah dan
Rasul serta juga dibenci oleh manusia.
D. Kegunaan Ilmu Tasawuf
Kegunaan
tasawuf adalah untuk mendidik hati dan mengetetahui alam gaib dan buah yang di
harapkan dari tsasawuf adalah jiwa yang dermawan, hati yang tenang, dan pekerti
yang baik kepada semua makhluk.
Ilmu ini tidak berbicara tentang ungkapan
lisan, melainkan tentang perasaan dan emosi.Ia tidak bisa di pelajari dari
lembaran kertas, melainkan di ambil dati para ahli rasa.Ia tidak bisa di
peroleh dengan banyak bercerita, melainkan dengan melayani para guru dan
menyertai para ahli kesempurnaan (ahlul Kamal). Demi Allah, tidak akan
berbahagia orang yang ingin bahagia kecuali dengan menyertai orang yang
benar-benar telah berbahagia.Dari Allah-lah segala pertolongan.
E.
Hubungan
Tasawuf Dengan Udhulu Fissilmi Kaffah
Tasawuf
dengan udhulu fissilmi kaffah sangan erat hubungannya dan tidak dapat
dipisahkan, karena adalah rahmat dan pertolongan Allah kita dilahirkan dan
dibesarkan secara Islam. Orang tua kita menikah dimotifasi oleh ajaran Islam.
Ijab dan qobulnya di depan petugas KUA, didoakan di bawah pimpinan ulama. Jadi,
bibit-bibit yang kemudian menjadi diri kita disemai secara Islam. Ketika kita
dalam kandungan diupacarai dengan doa-doa, juga dengan bacaan ratib atau
salawat Nabi. Pada saat lahir kita diadzani juga diqomahi lengkap dengan serangkaian
upacara keagamaan hingga kita berusia 40 hari. Pendek kata benih yang baru
tumbuh yang bernama "kita" ini telah disirami oleh Islam.
Selanjutnya, kita hidup dalam keluarga muslim, di lingkungan masyarakat muslim,
serta dididik dalam koridor ajaran Islam. Walhasil kita menjadi orang Islam.
Alhamdulillah, wa syukrulillah.
Hidayah
Allah yang diberikan kepada kita secara cuma-cuma ini tentu mesti kita syukuri.
Adakah nikmat lain yang melebihi nikmat Iman dan Islam? Lain syakartum
laaziidannakum walain kafartum inna adzabii lasyadiid; jika kalian bersyukur,
maka niscaya Aku akan menambahkan (Nikmat Allah), dan jika kalian mengingkari,
maka niscaya siksaku amat pedih. Mensyukuri nikmat tentu tidak hanya dengan
ucapan dan pernyataan tapi juga dengan amal dalam kenyataan. Maknanya, Islam
dan Iman yang kita dapatkan dari orang tua kita wajib kita rawat, kita
tingkatkan dan sempurnakan. Sudah pasti Islam dan Iman kita belum sempurna.
Penuh kekurangan dan kepincangan. Oleh karena itu, perintah Allah dalam surah
Al-Baqarah, ayat 208 perlu kita tunaikan. "Udhuluu fissilmi kaaffah, walaa
tattabi'u khutuwaatis syaithaan"; masuklah kalian semua ke dalam Islam
secara penuh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Artinya kita
diperintahkan untuk menyempurnakan keislaman kita terus-menerus sambil
senantiasa melawan bujukan setan.
Selama
ini, kita memahami Islam secara timpang. Sehingga kita mengamalkan ajaran Islam
juga secara timpang. Islam dalam pemahaman serta pengamalan kita adalah
serangkaian peribadatan yang tersebut dalam rukun Islam itu. Kita merasa telah
memenuhi kewajiban sebagai muslim jika menjalankan ibadah-ibadah wajib yang
mahdlah (ritualistic) itu. Penggambaran kita tentang orang yang saleh dan
bertaqwa adalah sosok orang yang berpakaian putih bersorban yang berlama-lama
didalam masjid.
F.
Hubungan
Tasawuf Dengan IQ, EQ dan SQ
1.
Kecerdasan
Intelektual (IQ)
Intelligence
Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan
kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet
dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut
dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ)
merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya
bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut.
Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak
sampai usia 13 tahun.
Tingkat
kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia
Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut
penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar
umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic)
yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang
cukup.
2.
Kecerdasan
Emosional (EQ)
EQ
adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Golleman. Berdasarkan hasil
penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa
setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran
emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau
“Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh
emosi.
Daniel
Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa
“kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang
80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional.
Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi
pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya
menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam
dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang
positif dan bermanfaat.Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan
untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih
positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi
emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai
segi.
Hubungan
antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional.
Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari
wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan
emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
Manusia
dengan EQ yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada
pekerjaan, mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan
berpegang pada komitmen. Makanya, orang yang EQ-nya bagus mampu mengerjakan
segala sesuatunya dengan lebih baik.
Di
samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran
komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan
diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap
dirinya (intra personal) seperti self awamess (percaya diri), self motivation
(memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan terhadap orang lain
(interpersonal) seperti empathy, kemampuan memahami orang lain dan social skill
yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara
baik .
3.
Kecerdasan
Spiritual (SQ)
Spiritual
Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan
tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat
menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan
emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang
mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang
penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ
yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul
(Spiritual).
Selain
itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001,
IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang
di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi
‘pusat-diri’
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. hal. 179-180.
Harun Nasution. Falsafah dan Mistisisme
dalam Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1983.
Hamka. Tasawuf Modern. Jakarta. Yayasan
Nurul Islam. 1970.
Comments
Post a Comment